Selasa, 08 September 2009

Jaques Derrida

JACQUES DERRIDA
Prototype Metafisika Postmodernisme

1. Pendahuluan
Apakah metafisika mungkin?[1] Sebuah pertanyaan yang mengindikasikan suatu pencarian secara terus menerus tentang realitas yang-ada. System metafisika merupakan tema perdebatan yang terus menerus dibahas dalam setiap era peradaban filsafat. Dalam tradisi metafsika klasik, persoalan metafisis selalu berhubungan dengan dalam pembahasan tentang yang-ada, yang hadir dalam kesendiriannya, artinya itu yang hadir secara demikian. Pemahaman metafisika mendapat tanggapan pro dan kontra. Ada dua alasan: pertama, konsep metafisika itu tidak valid, tidak bisa diverifikasikan, tidak konkret, dan tidak positif. Kedua, ilmu metafisika tidak fungsional, sama sekali tidak bermanfaat. Dari sikap-sikap inilah kemudian muncul penyangkalan atau penolakan system metafisika oleh aliran atau filsuf yang satu terhadap aliran atau filsuf yang lain. Misalnya, metafisika Aristoteles yang memahami ada sebagai yang-ada (being qua being). Oleh Kant, metafisika ini jelas tidak mungkin sebab proposisi-proposisi metafisika tidak sintesis a priori dan secara metodologis sulit dipertanggungjawabkan.[2] Namun Kant mengatakan juga bahwa metafisika itu tetap mungkin, walau berubah bentuk sekali pun, sebab dengan menghilangkan satu system metafisika saat itulah ia bermetafiisika, artinya saat itu juga ia membangun system metafisika baru. Inilah yang dilakukan Postmodernisme. Munculnya postmodernisme mengisyaratkan segala kemapanan system-sistem, idiologi-idiologi, struktur-struktur ciptaan modernisme telah runtuh. Modernisme hanya merupakan suatu usaha pendulangan metanaratif. Hanya grand narative.[3] Ini mau mengatakan bahwa segala produk modernism yang mengedepankan peradaban rasionalitas dibantah oleh postmodernisme dengan gaya berpikir lain, seperti yang dilakukan oleh Jacques Derrida dengan metode dekonstruksi.

2. Postmodernisme
2..1. Kelahiran Postmodernisme
Postmodernisme lahir di Perancis dalam tahun 1960.[4] Istilah postmodernisme sendiri muncul sekitar tahun 1970-an dalam bidang arsitektur, yang lantas merembes ke wilayah sastra yang akhirnya menjadi semacam paradigm tandingan bagi modernism.[5]
Postmodernisme adalah gelombang cara berpikir yang memandang kemapanan modernism telah runtuh dan ketinggalan jaman. Ketinggalan jaman maksudnya ialah bahwa kemapanan yang telah dibangun oleh modernism telah ketinggalan legitimasinya, aktualitasnya, relevansinya. Keruntuhan ini seiring dengan berkembangnya peradaban baru yang mendobrak bentuk-bentuk kemapanan hidup mausia.[6]
2.2. Gagasan Pokok Pemikiran Postmodernisme
2.2.1. Diskusi Post-Strukturalist
Lahirnya filsafat Postmodernisme, bermula dari merebaknya diskusi kaum post-strukturalistfoundasionalisme. yang melawan atau menolak rationalisme, utopianisme, dan
  • Contra rationalism. Ini mengacu pada filsafat Rene Descartes yang menekankan subyektivitas ratio. Kesesuaian antara ide atau konsep dengan realitas. Inilah kebenaran sistematis, maksudnya apakan ide-ide saya itu sesuai atau tidak dengan realitas.
  • Contra utopianisme. Maksudnya menentang filsafat spekulatif absolute Hegel. Suatu pengedepanan subyektivitas roh. Atau cita-cita Marx dalam cetusan mengenai idiologi kesatuannya tentang masyarakat communal. Masyarakat communions, yang dikenal dengan komunisme.
  • Contra foundationalisme. Maksudnya menentang rincian cara berpikir yang menggagas fondasi-fondasi kebenaran. Seperti nyata dalam Descartes dalam bukunya Meditasi-Meditasi Filsafat. Atau gaya berpikir Plato dalam gagasannya: “jika orang memahami realitas hidupnya ia harus memiliki referensi ke dunia Idea”.

Kritik post-strukturalist (1960-1970) mengalir menjadi semacam oposisi politis: tidak tunduk pada academic authorities dan negara, dan dikaitkan dengan kritik atas imperialisme barat dan rasisme, juga feminisme. Itulah sebabnya filsafat postmodernisme identik dengan post-strukturalist yang menolak kemungkinan pengetahuan obyektif tentang dunia nyata.[7]
2.2.2. Postmodernisme adalah Filsafat Tidak
2.2.2.1. Perdebatan antara Modernisme dan Postmodernisme
Untuk dapat mengerti apa itu postmodernisme, Adam B. Seligman (1990) memperlihatkan beberapa tema besar yang menjadi bahan perdebatan antara modernisme dan postmodernisme. Pertama, perdebatan antara akal (reason) dan nihilsme. Kedua, antara nilai rasionalitas dan nilai instrumental. Ketiga, antara kategori universalitas dan kategori individualitas. Keempat, antara keuniversalan nilai dan otonomi ego individual. Point kedua dari keempat perdebatan itu memperlihatkan watak postmodernisme.

2.2.2.2. Tema-tema Postmodernisme
Filsafat postmodernisme adalah filsafat tidak. Tidak kepada apa? Postmodernisme berkata tidak kepada pengetahuan immediately presented, tidak kepada origen, tidak kepada unity, tidak kepada transcendence, dan tidak kepada book. Postmodernisme mengajukan apa yang disebut sebagai the idea of constitutive otherness. Rincian penyangkalan ide-ide inilah yang mendominasi diskusi filsafat postmodernisme.[8]
Watak postmodernisme dapat dijelaskan dalam rincian tema yang merupakan penyangkalan postmodernisme terhadap modernism, yaitu:
  1. Postmodernisme menolak paham-paham pengetahuan yang berkarakter immediately presented atau pengetahuan kesekaligusan, atau kesekarangan mengenai realitas.
  2. Penyangkalan terhadap tema origen. Bagi postmodern tidak ada pendasaran asal-usul pengetahuan seperti yang dianut oleh para filsuf self-centering.[9]
  3. Postmodernisme juga menolak paham unity.[10] Manusia tidak pernah merupakan suatu eksistensi singular karena manusia memiliki selves dari pada a self.[11] Realitas lebih tepat bila diapresiasikan karena keberagamannya dari pada direduksi dalam keseragaman.[12]
  4. Postmodernisme juga menolak transendensi[13] dengan memberikan penegasan pada proses immanensi dan memberi ruang pada manusia untuk mengedepankan proses belajar, writing, negosiasi, dan realita-realitas yang memproduksi apa-apa yang bersentuhan langsung dengan hidup manusia.
  5. Filsafat postmodernisme ya terhadap the idea of constitutive otherness.[14] Eksistensi manusia membutuhkan ruang.[15] Kesadaran mengenai ruang bukan dalam hubungannya dengan keluasan melainkan kesadaran mengenai yang bukan saya. Strategi constitutie otherness artinya realitas ke-lain-an yang justru bersifat konstitutif.

Tema-tema inilah yang membentuk suatu system filsafat baru yang tidak lagi berorientasi pada persoalan metafisika kehadiran, seperti yang dipahami dalam era modernitas atau bahkan sebelumnya. Cara ini telah ditinggalkan dengan suatu usaha membangun system berpikir yang langsung menghantam kemapanan modernitas. Misalnya, seperti yang dilakuklan oleh Nietzsche.[16] Atau seperti pembalikan yang dilakukan oleh Lyotard terhadap utopia Habermas, yang melihat usaha modernism hanyalah suatu usaha pendulangan metanarative. Atau lebih lagi dalam Derrida yang mengeksploitasi metafisika kehadiran Barat dengan metode dekonstruksi. Dengan dekonstrusinya, Derrida telah membangun suatu system metafisika baru dengan gaya berpikir postmodernist.
3. Jacques Derrida

3.1. Latar Belakang Tokoh
Jacques Derrida[17] adalah seorang filsuf Perancis yang pemikirannya mendapat tempat sentral dalam postmodernisme. Sebenarnya ia lebih cocok dikatakan sebagai seorang hermeneutic. Hapir semua karyanya berbentuk parasitis (Llewelyn, 1985), dan merupakan komentar atas karya orang lain. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Heidegger[18], Husserl, dan aliran strukturalisme.
3.2. Derrida dan Heidegger
Pengaruh pemikiran Heidegger tampak dalam metode dekonstruksi itu sendiri, yang merupakan pengalihan dari deconstruction-nya Heidegger. Dalam Bend and Time, Heidegger telah meletakkan suatu deconstruction terhadap metafisika kehadiran Hegel dan Husserl, dan tradisi metafisika Barat secara keseluruhan.
Menurut Heidegger seluruh tradisi metafisika ditandai oleh “lupa akan yang-ada” (seinvergessenhit), artinya yang-ada diperlukan sebagai ada khusus yaitu benda, obyek (gegestand).[19] Inilah yang hendak dihancurkan dan diganti dengan orientasi dan pendekatan baru. Bagi Derrida sendiri yang-ada harus selalu dimengerti sebagai kehadiran. Maka Derrida menggunakan istilah dekonstruksi daripada dengan deconstruction, sebab jika deconstruction

3.3. Fenomenologi Husserl
Dua metode yang digunakan Husserl. Pertama, metode positif, yang disebutnya sebagai Zu den sachen selbst (kembali ke halnya sendiri). Artinya, yang terpenting ialah halnya, benda itu sendiri, bukan gagasan mengenai hal tersebut. Kedua, metode negative, yang disebutnya sebagai Voraussetzungslosigkeit yang mutlak, atau kekurangan pengandaian yang mutlak.[20] Dua metode ini dapat mengantar kita kepada suatu tingkat kepastian yang lebih tinggi.
Pengandaian fenomenologi tradisi metafisika tentang kehadiran condong ke arah yang-ada yang hadir bagi dirinya sendiri. Yang-ada benar dalam dirinya sendiri, terlepas dari ruang dan waktu. Inilah yang kemudian memunculkan pemahaman mengenai subyek transcendental. Derrida menolak pemikiran ini sebab kehadiran itu selalu berarti di sini dan sekarang, here and now.

3.4. Pengaruh Strukturalisme
Strukturalisme membuat cabang dalam struktur jalan pikirannya ke dalam ilmu-ilmu lain, juga kesusastraan dan ilmu bahasa. Dalam hal ini Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur benar-benar ada. Noam Chomsky[21], strukturalist, mengatakan bahwa bahasa itu diprogramkan ke dalam pikiran manusia, dan manusia sebagai pembicara menerima begitu saja dan mengikuti struktur tersebut. Bagi Derrida makna tidak dapat disusun dalam pikiran manusia selama makna itu merupakan produk pengalaman. Derrida ingin mengupas gagasan mengenai struktur karena struktur menentang kebebasan peran makna. Sebab jika demikian maka setiap orang akan membaca makna yang sama pula, dan jika makna ditempatkan di bawah suatu ruang lingkup, maka makna tidak dapat dihasilkan oleh metodologi yang terstruktur.

4. Perkembangan Pemikiran Derrida

4.1. Metode Dekonstruksi
4.1.1. Dari konstruksi ke dekonstruksi
Dengan dekonstruksi tidak dimaksudkan penghancuran, pembubaran ataupun peniadaan. Konstruksi memang berarti membangun, pendirian, atau sistemasi. Konstruksi memaksudkan pendirian rasionalitas. Ini khas modernitas, dan Descartes adalah pionirnya. Rasionalitas bukan sekedar perkara diskrepansi atau korespondesi subyek atau ide akal budi dengan subyek realnya. Rasionalitas adalah kesadaran. Dengan kesadaran dimaksudkan subyektivitas. Kesadaran bahwa aku adalah entitas yang berpikir. Terminology Cartesian melukiskan dengan tepat: res cogitans. Manusia adalah res yang menyadari. Kesadaran manusia adalah kesadaran rasional yang tidak pernah mandeg sebelum memiliki keyakinan mengenai keabsahan. Terminology konstruksi mau mengatakan bahwa dengan memiki kesadaran, manusia memiliki segalanya. Menusia menggagas dirinya, sesama, Tuhannya, lingkungannya, dan segala sesuatu yang bertautan dengan kehidupannya.
Konstruksi memproduksi apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan, teknologi, idiologi-idiologi, hokum, agama, metafisika, dan sejenisnya. Inilah kemapanan modernitas, yang menggiring realitas hidup manusia ke taraf yang lebih rendah, sebab hanya menjanjikan kepalsuan. Hanya suatu metanarative. Ini dianalisis oleh postmodern. Kemodernan telah menjatuhkan peradaban ke tingkat yang lebih rendah. Peradaban manusiawi mundur. Maka postmodern melabrak itu. Melabrak kepentingan. Ia menggerbak narasi, atau narasi agung prodak modernitas. Bagaimana menggerbaknya? Derrida mengajukan aktivitas rasional yang disebut dengan dekonstruksi.
Dekonstruksi tidak menawarkan penghancuran. Dengan dekonstruksi dimaksudkan pembacaan ulang (re-reading) seluruh realitas, yang de facto merupakan produk dari modernitas sejak cartesius. Karena merupakan aktivitas membaca ulang, dekonstruksi memandang realitas sebagai suatu teks. Jadi di sini dekonstruksi berhadapan dengan bahasa. Dengan bahasa tidak dimaksudkan terutama dengan kata (word) melainkan symbol (sign). Dekonstruksi akan memandang bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia symbol. Dari Ferdinad de Saussure[22]signified (realitas yang dimaknai) dan signifier (realitas yang memaknai/pemberi makna tersebut). Klaim modernitas atas keabsahan sesungguhnya langsung berhubungan dengan struktur signifier-nya, dan bukan menyentuh signified-nya. Artinya ada struktur-struktur pemahaman rasional yang – dalam ilmu pengetahuan – terjadi penekanan-penekanan yang berlebihan dan kompromistis atas realitas.

4.1.2. Dekonstruksi terhadap metafisika kehadiran
Filsafat Derrida kerap disebut sebagai filsafat dekonstruksi yang merupakan serangan terhadap metafisika kehadiran (the metaphysic of presence). Ide dekonstruksi muncul dari deconstruction-nya Heidegger. Dekonstuksi merupakan suatu interpretasi. Jadi dalam dekonstruksi dipakai metode hermeneutika (teknik membaca), yang menekankan suatu permainan bebas[23] terhadap suatu teks.
Dalam tradisi metafisis yang-ada selalu demengerti sebagai kehadiran, yaitu hadir untuk sesuatu (presesce for something), seperti yang digagas oleh Hegel dan Husserl. Yang-ada yang hadir itu sebagai dirinya, tanpa ikatan apapun. Inilah yang ditoleh Derrida, karena kehadiran selalu berarti di sini dan sekarang. Kehadiran bukan suatu instansi independen yang mendahului tutudan dan tulisan. Kehadiran ditampilkan dalam tuturan dan tulisan, dalam tanda yang kita pakai.
Tradisi metafisika kehadiran mengaggap tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, artinya tanda berfungsi sebagai pengganti realitas yang ada di baliknya. Tanda mau mengungkapkan kenyataan yang tersembunyi. Dengan demikian tanda akhirnya menunjuk pada obyek itu sendiri sebagai hadir. Tanda hanya sekedar, yang untuk sementara, menunda kehadiran obyek itu sendiri. Menurut Derrida tanda tidak dapat menunjukkan suatu totalitas yang lain dari dirinya sendiri. Tidak ada makna murni yang dapat diabstraksikan dari tanda. Melalui jaringan tanda itulah obyek-obyek muncul.

4.2. Sistem Metafisika Menurut Derrida
4.2.1. Teks sebagai Interpretasi Metafisika Kehadiran
Maksud Derrida perlu dijelaskan lebih lanjut. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut teks atau tenunan. Derrida kembali pada arti asli (Lat. Textere = menenun). Jadi bukan dalam pengerian biasa. Teks tidak hanya dipahami sebagai kumpulan teks. Teks melingkup segala seuatu. Segala seuatu adalah teks dan mempunyai status teks. Derrida menekankan bahwa tidak ada makna yang melebihi atau terlepas sebagai teks. Tidak ada sesuatu yang eksis lepas dari teks. Jadi tidak ada nilai transcendental di luar teks.
Penekanan filsafat Derrida pada teks ini karena keinginannya untuk mengubah tradisi metafisika yang bersifat logosentris[24] dan cendrung fenosentris ke arah grammatology atau ilmu tentang tulisan, tanda-tanda, atau tentang tekstualitas. Derrida memaksudkan bahwa tulisan dulu baru ucapan, sebab sebelum orang mengucapkan ia terlebih dahulu menuliskannya, artinya tulisan itu sudah muncul lebih dulu tatkala ia hendak mengatakannya. Maka bagi Derrida, tulisan itu harus mendahului ucapan dan merupakan syarat awal sebuah bahasa.[25]
4.2.2. Tulisan sebagai Arche Writing
Dengan menggiring tradisi metafisika yang cendrung logosentris dan fenosentris kepada grammatology, dimana penekanannya ialah pada teks, Derrida telah menempatkan tulisan sebagai arche-writing. Arche tulisan dianggap sebagai asal usul tuturan. Menurutnya, setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan. Oleh karena itu, tulisan merupakan sumber dari segala aktivitas bahasa.
Arche writing pertama-tama merupakan kunci untuk memahami gagasan-gagasan Derrida. Arche writing dimaksudkan oleh Derrida untuk membicarakan waktu sebelum waktu yang kita alami, atau bahasa sebelum bahasa yang kita pakai saat ini. Arche writing merupakan syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah system, atau melalui arche writing ini kita dapat memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari ucapan dan tulisan. Karena bahasa pada dasarnya sudah merupakan tulisan maka konsep ucapan-tulisan harus diganti dengan tulisan-ucapan. Dengan usapan, tulisan akan mencapai kesempurnaannya dan memperoleh arti, isi, serta nilainya.
Derrida yakin bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan, yaitu makna yang ditunda kehadrannya, sudah terdapat dalam tulisan. Dengan ini, Derrida hendak mengatakan bahwa tulisan sudah merupakan suatu fait accompli, yang sudah selesai dan terlaksana pada aat orang berbicara.

4.2.3. Differance[26]
Untuk menguraikan rahasia pernyataan Derrida kita harus kembai ke differance. Makna sebagaimana tanda, selalu tertunda. Atau dengan kata lain masih bergerak antara masa lalu dan masa mendatang. Differance juga berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang. Inilah sebabnya Derrida mengatakan bahwa differance itu tidak statis, tetapi genetis, dinamis, yang mengatasi kerangka waktu. Differance, sebuah proto-waktu, dan di bawah jangkauan ekstase waktu.
Derrida mendefinisikan difference dalam empat pengertian. berarti harus membangun suatu system metafisika baru. kita tahu bahwa apa yang disebut dengan sign terdiri atas struktur
  • Pertama, differance, menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Difference adalah proses penundaan (aktif-pasif) yang tidak didahului oleh satu kesatuan aski.
  • Kedua, differance adalah gerak yang mendiferensiasikan, yang merupakan akar bersama bagi oposisi antara konsep-konsep.
  • Ketiga, differance adalah produksi semua pembedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan setiap struktur.
  • Keempat, differance menunjukkan juga berlangsungnya perbedaan antara Ada dan ada-an, suatu gerak yang belum selesai. Sebuah gerakan dinamis.

Keempat difinisi tentang differance ini menegaskan bahwa difference tidak bisa diartikan sebagai asal-usul, sebagai identitas akhir yang melebihi semua perbedaan factual. Tepat bila dikatakan bahwa differance tetap merupakan kunci untuk makna. Differance tidak tampak secara jelas namun membuka kedok makna, sehingga apa yang dihadirkan oleh tanda ataupun tulisan dapat dimengerti oleh pembaca.

5. Penutup

Kita telah melihat bagaimana metafisika itu merupakan suatu tema pembahasan yang tak kunjung henti dalam sejarah peradaban filsafat. Mulai dari era Yunani sampai pada era Postmodern. Ini telah dilakukan oleh Derrida, yang memberikan tiga tema dalam bermetafisika.
  • Pertama, Derrida meletakkan teks sebagai interpretasi metafisika kehadiran, dimana segala sesuatu adalah teks dan berstatus teks.
  • Kedua, dari teks Derrida memberi pendasaran dengan mencetuskan tulisan sebagai arche writing yang merupakan asal usul tuturan, dan merupakan syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dapat dinyatakan sebagai suatu system.
  • Ketiga, kerana makna merupakan suatu realitas tertunda, maka Derrida memberikan suatu pemahaman makna lewat differance, yang merupakan suatu gerak dinamis tanpa henti.

Ketiga tema di atas tidak terlepas dari metode dekonstruksi yang telah dibangun oleh Derrida. Dekonstruksi Derrida telah mengatakan kepada kita bahwa realitas itu bukan hanya dalah hubungannya dengan akal budi, tidak berhenti pada ratio, seperti kebanggaan modernitas. Realitas itu bukan berarti buku yang sudah jadi secara demikian.


Bagaimana menjelaskan realitas? Realitas didahului oleh ke-lainan-nya (being it’s ows differance). Realitas merupakan itu sebagai demikian, karena ke-lainan-na bukan dia. Artinya suatu relasi yang bersifata constitutive otherness. Menyertakan yang lain di luar diri saya. Dengan demikian, manusia akan menyadari bahwa ia merupakan realitas dirinya yang secara demikian yang berbeda dengan apa saja yang bukan dirinya. Realitas itu dinamis. Suatu aktivitas tanpa henti, yang beranjak dari rentetan pengalaman keseharian kita. Dengan demikian Derrida menegaskan bahwa hidup itu bukanlah seperti apa adanya, dalam tata rutinitas. Hidup itu memiliki it’s own differance. Hidup itu memiliki ke-bebeda-anku dengan yang lain yang membangun diriku. Akhirnya hidup adalah realitas yang menyatu dalam ke-perbeda-annya dengan kematian. Maksudnya, hidup itu adalah realitas yang juga merangkul ke-berbeda-annya dengan kematian.

Kepustakaan

Bambang I. Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996
Berteens, K., Filsafat Barat Abad XX Jilid II PERANCIS, Gramedia, Jakarta, 1996
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristotles sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Riyanto Armada, Fides et Ratio dalam Philosophica et Theologica, STFT, Malang, Vol. I No. 1 Okt 2001 – Feb 2002
_________, Geneologi Postmodernisme. Licture Studying of Postmodernism, STFT, Malang, 2002
Sumaryono E., Herneneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1993

­­­
Notes:

[1] Pertanyaan ini dilontarkan oleh Kant pada abad XVIII dalam bukunya Kritik atas Rasi Murni. Bdk. Joko Siswanto, 1998:1.
[2] Ibid.,
[3] Ini merupakan tema perdebatan Habermas dan Lyotard dalam diskusi postmodernisme; Richard Rorty:162-175.
[4] Armada Riyanto, 2002:1
[5] Joko Siawanto, Op.Cit.,:156
[6] Bdk. Armada Riyanto, 2001-2002:16-17
[7] Ibid.,:16
[8] Lebih eksplisit watak modernism dan postmodernisme dikemukakan oleh Margaret A. Rose, (1991) dengan memperbandingkan keduanya dalam dualitas ekstrim, misalnya romantisme/simbolisme dengan dadaisme; bentuk dan anti bentuk; desain dengan perubahan; sistesis dengan antithesis; kehadiran dengan ketidakhadiran; naratif dengan anti naratif. Bdk. Joko Siswanto, 1998:160
[9] Misalnya, eksistensialisme, psikoanalisis, phenomenology, dan juga Marximism. Bagi mereka menemukan origen berarti menemukan realitas. Bagi postmodernisme tidak perlu lagi kembali kepada origin sebagai suatu realitas fenomena, realitas sumber, realitas akhir.
[10] Unity di sini diartikan sebagai unsure satu, kesatuan, ketunggalan.
[11] Postmodern menerima penolakan strukturalisme atas worshiping the altar of the self. Bdk. Armada Riyanto, 2002:2
[12] Penekanan pada nilai pluralism, suatu konsep yang mengekspreikan suatu pluralism fundamental. Di sini dapat dilihat dorongan-dorngan dan kemungkinan kritis dari para pemikir postmodernis yang anti totaliter. Nada pliralisme ini tampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Ferdinand de Saussure. Ia menekankan bahwa bahasa adalah lepas dari kenyataannya. Bahasa dapat dipelajari dari dirinya sendiri. Ungkapannya: “dalam bahasa tidak ada apa-apa kecuali hanya perbedaan system tanda” (Lowson, 1995); Bdk. Joko Siswanto, 1998:161
[13] Postmodernisme cendrung ke empirisme dengan induksi yang sangat murah. Penekanan postmodern pada fenomena empiris cendrung menilai rendah nilai-nilai yang transenden. Bdk. Joko Siswanto, 1998:161-162
[14] Otherness, realitas di luar diri saya, yang bukan saya. Constitutive otherness, suatu relasi, dimana realitas saya dibangun oleh realitas luar saya.
[15] Ruang bukan menyangkut keluasan, melainkan relasi interpersonal. Artinya saya berelasi dengan yang bukan saya. Orang lain. Memahami orang lain ialah dengan others, maksudnya dipahami dengan ide-ide yang di luar saya. Di sini manusia dipahami dengan selves, artinya:
1. Kesejatian manusia terletak pada relasi dirinya dengan orang lain.
2. Mempertimbangkan eksistensi yang lain merupakan wujud dirinya sendiri.
3. Orang harus sampai pada kesadaran bahwa orang lain juga membentuk dirinya, diri saya.


[16] Boleh dikatakan bahwa dengan “pembunuhan” rasio, produk modernis, Nietzsche telah mencetuskan ide postmodernisme. Oleh karena itu, Nietzsche dianggap sebagai “sesepuhnya” postmodernisme.
[17] Lahir pada tahun 1930 di Algeria. Belajar di Ecole Noemale Superieure , Perancis. Waktu muda pernah menjadi anggota Partai Komunis di Perancis. Bdk. Joko Siswanto, 1998:162; Bertens, 1996:326-328
[18] Tentang Heidegger Derrida berkata: “Segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh Heidegger”. Bdk. Bertens, 1996:328-329; Joko Siswanto, 1998:163
[19] Yang-ada diidentikan dengan eidos, arche, telos, energia, ousia, consciousness, God, Man. Bdk. Benaconi, 1978
[20] Husserl mendekatkan diri dengan metode yang dikemukakan Descartes tentang keraguan. Ia menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik nol. Bdk. E. Sumaryono 1993:110
[21] E. sumaryono, 1993:122
[22] Ferdinad de Sausure adalah seorang strukturalist yang menggagas semiologia atau semiotika yang mempelajari symbol (sign) dalam bingkai kehidupan social manusia. Bahasa merupakan symbol. Cetusan kecerdasan. Bahasa merupakan prosuk dari keseluruhan sisten dari atto individuale/sociale. Teori bahasa seperti permainan SKAK. Setiap kata mempunyai makna sendiri-sendiri. Penggunaan bahasa merupakan permainan skak kata-kata yang tunduk pada system. Struktur bahasa ini berjalan sebagaimana biasanya, dan makna terkait di dalam struktur itu. Dengan ini Saussure hendak menjelaskan struktur kehidupan social manusia dengan institusinya. Ordo social, bagi Saussure, identik dengan ordo linguistiknya.
[23] Permainan bebas yang dimaksudkan adalah seperti yang digagas oles Saussure tertang bahasa yang dilihat sebagai permainan skak.
[24] Tradisi metafisika disebut logosentris karena memprioritaskan tuturan atau ucapan di atas tulisan. Artinya ucapan mendahului tulisan.
[25] E. Sumaryono, 1993:115
[26] Kata differance diturunkan dari bahasa Latin: differe, yang artinya berbeda, menunda, menangguhkan. Dalam bahasa Perancis ada dua kata berbeda yang pengucapannya sama, yaitu difference dan differance. Difference dapat berarti tidak sama, lain, berbeda. Sedangkan kata differance memiliki suatu uraian panjang yang oleh Derrida digunakan dalam hubungannya dengan seni, kesusasteraan, ataupun bahasa. Jadi antar keduanya dapat dibedakan dalam kerangka ruang dan waktu. Bdk. E. Sumaryono, 1993:114

Minggu, 17 Mei 2009

Postmodernisme

Postmodernisme Sebagai “Peristiwa Filosofis” –
Indikasi-Indikasi Gebrakan Postmodern

Apakah Postmoder? Filsafat, atau lebih tepat dsebut peristiwa filosofis, yang dewasa ini amat dominan. Ia amat mendominasi diskusi-diskusi di dunia intelektual. Di mana saja. Postmodern merambah aneka wilayah kehidupan manusia. Ia menyentuh wilayah seni, sastra, politik, arsitek, mode, bahkan juga religiusitas. Perkara-perkara agama tak luput dari ‘gempuran’ peradaban postmodern. Cara-cara hidup beragama mengalami pergeseran-pergeseran. Demikian juga denga model-model dalam menjalin hubungan antara manusia juga terkontaminasi elemen-elemen peradaban ini. Akan tetapi, uraian ini hanya akan berurusan dengan wilayah filsafat. Tidak merambah seluruh wilayah yang terkena imbas postmodern.
Dalam panorama pengembaraan akal budi manusia, maksudnya dalam sejarah panoramic peradaban filsafat, postmodern memiliki kerumitan asal-usul, yang tidak terlalu jelas. Tiba-tiba terdengar argumentasi-argumentasi yang nyeleneh, aneh, yang mendobrak ortodoksi dan kemapanan. Juga peristiwa-peristiwa yang bermunculan tak terduga, tanpa prediksi, sehingga membuat kita tebengong-bengong. Apa yang dulu dianggap tabu, kini wajar-wajar saja. Apa yang dulu tak pernah terpikirkan kini terjadi dan tak mungkin untuk ditolak. Belum sempat orang menggagas prinsip etisnya, peristiwa demi peristiwa telah bergerak dengan demikian cepat. Ketidakjelasan asal usul sering digambarkan dengan adagium bahwa postmodern itu bak hantu, atau sesuatu yang tidak bisa dipastikan dari mana datangnya dan dimana keberadaannya, yang menyisakan sebuah perkiraan yang sering bersifat mustahil. Demikian juga dengan postmodern. Indikasi asal usul filsafat postmodern hanya akan menjelaskan kurang lebih darimana filsafat itu diasalkan, bahkan sulit dirumuskan.
Seorang tokoh yang dapat dikatakan sebagai penggagas postmodern, Derrida, ketika ditanya tentang “apa itu dekonstruksi” berkata bahwa “itu memang sulit”, dengan gerakan tangannya untuk mencoba mendahului uraian dari mulutnya…”ya inilah dekonstruksi itu. Terminology dekonstruksi adalah emblem untuk filsafat postmodern. Dekonsrtuksi adalah terminology Derridian. Degan berkata “ya, inilah dekonstruksi itu” (sambil tangannya bergerak-gerak), Derrida hendak menjelaskan bahwa ekspresinya yang mau menguraikan makna terminology itu sudah melukiskan dekonstruksi itu sendiri. Dengan ini Derrida memaksudkan bahwa dekonstruksi langsung berkaitan dengan symbol-simbol atau isyarat gerakan (gesture). Derrida sedang menciptakan symbol bagi terminologinya, dekonstruksi, dengan suatu gerakan tangan – yang oleh manusia yang bertanya kala itu – harus dibaca. Kehadiran postmodernisme memang sulit diprediksikan, menyelinap, dan sulit diparafrasekan dalam wacana rasional. Seolah memahami postmodern berarti menduga-duga tentang kenyelenehan dan segala ketidak-normalan.

Indikasi Kemunculan Postmdern
Dalam Tataran Seni Arsitektur
Beberapa indikasi kehadiran postmodern; misalnya, pada tataran arsitek, tiba-tiba hadir ketidak-konvensionalan gaya. Bukan hanya bentuk bangunan yang tidak tampil seperti biasanya, melainkan juga ruang yang memberikan emosi yang tak wajar. Kemegahan suatu bangunan, misalnya, tidak lagi diletakkan pada ketinggiannya yang menjulang tinggi menjangkau langit, melainkan pada model-model yang tidak wajar. Keindahan berpadu, bukan bersaing dan dalam kesemerawutan yang menyertakan nilai naturalitasnya yang menjadi bagian dari ruang itu sendiri.

Postmodern dan Wilayah Politik
Pada tataran dunia politik, bukan lagi dominasi kaum maskulin. Tidak ada lagi idiologi yang dalam sejarah perkembangan pemikiran menonjolkan maskulinitas. Dengan maskulinitas, tidak hanya memaksudkan kaum pria sebagai lawan dari kaum wanita, melainkan memaksudkan symbol kekuasaan. Dari semua peradaban politik dunia, symbol kekuasaan dimonumenkan dengan phalus, yang adalah gambaran alat kelamin laki-laki. Peradaban Mesir kuno atau bahkan sebelum itu juga meninggalkan pemikiran monument maskulin sebagai emblem kekuasaan. Juga apa yang disebut dengan tugu pahlawan. Untuk menyebut terminology pahlawan, orang diajak untuk melihat terminology phalus.

Dewasa ini, dalam peradaban postmodern ini, seputar symbol-simbol perlu dibaca ulang. Atau, dalam garis pemikiran Derrida, perlu di-dekonstruksi. Derrida konon termasuk filsuf yang berbelit-belit dengan pemikiran yang sukar dipahami. Tetapi imbas gaya dekonstruksinya menggeser pola pandang macam maskulinitas kekuasaan. Perjuangan gender sekarang ini bukan hanya isu, melainkan relevansi kepada persamaan derajad, hak, pengakuan atas identitas, stereotip. Kesempatan untuk berkembang dan berekspresi dengan menyertakan tanggungjawab dan mengedepankan martabat yang sama. Dengan postmodern, format formalisme maskulinitas digugat. Seorang wanita adalah dirinya sendiri, tampa perlu seorang laki-laki yang menyebutnya wanita. Artinya, wanita adalah penguasa atas dirinya, jalan pikirannya, keaktifannya, keputusan hidupnya.

Postmodern merubah emblem maskulinitas kepada gender dan feminism. Poltik modern ialah plotik idiologi, dan idiologi identik dengan maskulinitas. Mengapa? Idiologi adalah kekuasaan, dan yang berkuasa adalah kaum maskulin, dan emblem idiologi bergantung erat dengan maskulinitas. Sebut saja, Individualisme Hobbesian, Kolektivisme-Komunisme Marxis. Nasionalisme Totalitarian Hitler, Chauvinisme Nippon Jepang, Fasisme Musolini, maupun Pancasila ala Orde Baru, semua tidak menyisakan rincian kekuatan dan kekuasaan kaum feminin.[1] Perubahan dan pergeseran dalam wilayah politik memang mencolok dengan hadirnya bentuk-bentuk perjuangan gender dan feminism, dengan penegasan bahwa wanita adalah sama dengan laki-laki dalam kodrat, termasuk di dalamnya peran dalam dunia politik.

Postmodern: Pergeseran hubungan antar manusia
Karena postmodern, wilayah hubungan antarmanusia mengalami pergeseran. Dalam postmodern, relasi antar manusia tidak dipatok dalam bingkai otoritas, melainkan dalam prinsip-prinsip yang mengatasi realitas fungsional. Orang sering meyakini peran otoritas dalam berelasi dengan sesamaya. Orang tua, ayah dan ibu, memiliki otoritas terhadap anak-anaknya. Suami memiliki otoritas sebagal kepala keluarga dalam rumah tangganya. Isteri, memiliki otoritas sebagai pendamping suaminya. Guru merengkuh otoritas terhadap anak didiknya ketua RT memiliki otoritas terhadap keluarga yang menjadi tetangganya. Pejabat memiliki otoritas terhadap siapa pun yang berada dalam wilayah jabatannya. Dan seterusnya.

Postmodern menggagas paradigma baru. Pola hubungan tidak lagi terpaku pada otoritas. Bukan lagi ayah yang memiliki otoritas tanggungjawab keluarga, melainkan seluruh anggota keluarga dengan perannya masing-masing. Bukan hanya laki-laki yang memiliki kans untuk menjadi pemimpin negar, melainkan siaa saja yang berkompetensi, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Bukan negara yang memgang otoritas berlakunya hokum, melainkan prinsip keadilan dan kebenaran. Bukan syariat yang menjadi pondasi tata tertib hidup umat beragama, melainkan kesadara rasional akan perlunya prinsip-prinsip ketaqwaan dan perdamaian hidup bersama.

Postmodern dan Religiusitas
Postmodern juga merambah dunia religiusitas. Dalam peradaban modern, religiusitas dipersepsi sebagai suatu cita rasa ketaatan, keimanan, ketakwaan kepada Tuhan. Postmodern memiliki perepsi sendiri yang berbeda. Religiusitas:
  1. Performatif dan redemtif. Artiya, apa yang disebut dengan suka cita rasa keimanan kepada Tuhan bukan sekedar terarah kepada satu doktrin, satu dogma, satu huku, satu syariat yang benar.
  2. Economic. Religiusitas harus memiliki karakter yang mampu menampilkan diri secara konkret.
  3. Religiusitas adalah suatu hidup, yang memikat, pantas dipeluk, dan layak dijalani. Religiusitas bukan suatu keterpaksaan dan bukan keniscayaan.

Dengan kata lain, religiusitas bukanlah ketaatan iman sendiri. Bukan pula rigoritas atau radkalitas militeristik, teoristik. Religiusitas adalah pengalaman redemtif, yang membuat hidup manusia lebih baik dari ke-areligiusitas-an. Religiustas berarti pengalaman sukacita, menyelamatkan, dan menyembuhkan. Bukan sekedar liturgy, doktrin, syariat. Religiusitas adalah suatu pengalaman manusiawi, terkait denga hidup keseharian, saat ini, dan di sini. Bukan sekedar janji akan kenikmatan surgawi. Religiusitas adalah pengalaman yang menyelamatkan dan membebaskan dari belenggu ketidakpastian, keniscayaan, takdir, dan keterpaksaan nasib.

Postmodern dan Konsep KeTuhanan
Postmodern membawa pergeseran dalam pemahaman konsep tentang Tuhan. Sebelum postmodern, Tuhan dimengerti sebagai sang creator (Pencipta). Dan, yang lain selain Tuhan adalah ciptaan (creature). Sebagai Pencipta, Tuhan adalah segalanya. Artinya, manusia dan segala ciptaan yang lain tergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Inilah suatu bentuk relasi ketergantungan. Ketergantungan ini – dalam filsafat Thomas Aquinas dan teologi Kristiani (juga teologi agama-agama monoteistik) – diungkapkan dengan distingsi bahwa Tuhan itu necessarium, sementara manusia itu contingens. Tuhan itu prinsip “Harus” dari segala apa yang ada, sedangkan manusia itu sebagai ciptaan “bisa ada, bisa tidak”. Manusia tidak mungkin bisa ada tanpa sang prinsip “Harus Ada” tersebut. Tuhanlah yang meng-adakan manusia. Dalam tataran penghayatan spiritual atau religious dalam hidup kongkret sehari-hari, Tuhan adalah Dia yang kita sembah. Awal dan tujuan akhir hidup manusia.

Peradaban postmodern memiliki pemahaman lain. Relasi antara Tuhan dan manusia tidak dimulai dari pengertian tentang siapa Tuhan, karena sudah jelas bahwa Tuhan adalah Pencipta, melainkan dari pengertian mendalam tentang manusia. Siapakah manusia? Pemahaman postmodern itu bersifat dekonstruktif, namun bukan maksudnya penghancuran wacana tradisional, melainkan penelaahan ulang atas wacana tradisional.[2] Postmodern tidak sekedar menggeser pengertian doctrinal tentang Tuhan, melainkan mengelaborasi teologi dari antropologis. Pengalaman manusia adalah titik berangkat refleksi teologis. Dan karena pengalaman keseharian manusia bersifat plural maka sulit untuk diseragamkan ke dalam satu bahasa sebagai demikian, dan bukan sekedar suatu relasi yang gambling Tuhan adalah Pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Dalam postmodern, relasi antara Tuhan dan manusia bisa berupa suatu pemberontakan, protes, syukur,dan kepasrahan. Tuhan bukan hanya entitas encompassing (yang melingkupi dan mengatasi segalanya) melainkan juga dapat berupa pribadi yang dituduh, diadili, dimaki. “keterlibatan” atau “sikap diam” Tuhan dipersoalkan secara amat mencolok dalam konteks penderitaan manusia tak berdosa.[3]

Postmodern dan Pemahaman Rasional Manusia
Tentang persepsi manusia terhadap realitas: dari rasionalisme ilmiah ke mitos. Kemodernan menggagas realitas dalam suatu cakrewala obyektif. Obyektivitas dipahami sebagaimana dalam tatanan investigasi ilmu. Realitas manusis, misalnya, memiliki suatu pemahaman obyektif, apabila dilihat sebagai makhluk rasional (filsafat), yang memiliki pertumbuhan jiwa seiring dengan perkembangan tubuhnya (psikologi), yang menjalin relasi dengan sesamanya dalam hidup bersama (politik). Dan seterusnya. Dengan kata lain, realitas obyektif manusia hanya mungkin oleh pemahaman rasional ilmiah.

Pemahaman itu bukan satu-satunya pemahaman valid. Postmodern membuka tebir pemahaman rasional ilmiah. Manusia memiliki berbagai kemungkinan yang keseluruhan kekayaannya tidak mungkin dicakup secara rasional ilmiah. Ada sekian gejala-gejala real yang tak mungkin sepenuhya dicerap oleh akal budi manusia. Dunia paranormal misalnya, menjadi wilayah yang hingga saat ini belum terambah oleh rasionalitas ilmiah. Bahkan penjelasannya pun tidak memungkinkan suatu pemahaman rasional. Juga perubahan-perubahan mentalitas yang tidak secara gamblang dikalkulasi dan distatistikkan alasan-alasannya. Contoh, dalam mengatasi masalah dalam keluarga, manusia dewasa ini lebih cendrung memilih lari ke wilayah-wilayah seputar dukun atau paranormal, ramalan-ramalan, dan tidak datang ke pakar konseling atau psikiater.

Peradaban postmodern adalah peradaban beyond rasional, namun bukan irasional. Realitas dihadapan manusia bukanlah semata suatu entitas yang harus dikuasai, digarap, direngkuh. Realitas adalah kekayaan yang terbentang luas dan tak terbatas. Manusia kerap merasa kecil dan terbatas bila berhadapan dengan bentangan kekayaan realitas, dan sering merasa mustahil, tidak masuk akal menurut keabsahan rasionalitas ilmiah manusia. Namun keterbatasan inilah yang menjadi emblem kekuatan yang tiada tara keajaibanya. Keajaiban tidak dipahami sebagai kekuatan hebat, melainkan keterbatasan yang mengatasi. Kekuatan tidak diletakkan pada suatu kekuasaan, kehebatan fisik, kehendak menggebu-gebu, melainkan pada keterbatasan kesadaran.

Postmodern dan Pergeseran Kultur
Dari idiologi kepada kultur. Idiologi adalah system rasional, bak suatu paket yang dikemas dalam pemikiran yang menapilkan analisis, promosi pemahaman, dan gagasan rasional. Idiologi menghasilkan kekuasaan, bukan karena menggagas suatu upaya perebutan kekuatan, melainkan karena idiologi selalu menganut rasionalitas yang memiliki target dan tujuan kepentingan. Idiologi bukanlah suatu ilmu kendati memiliki karakter rasional karena tidak pernah menghadirkan suatu rasionalitas yang memiliki makna dalam dirinya sendiri. Makna rasionalitas idiologis selalu tercurah kepada kepentingan, dan selalu memaksudkan kepentingan yang bersifat individu dan menyisihkan kepentingan pihak lain. Disinilah absurditas rasionalitas idiologi, karena jelas bahwa pe-ngesampingan kepentingan pihak lain bukan merupakan wujud pengungkapan rasionalitas, bahkan dengan mudah bergeser pada irasionalitas, bahkan ultra-rasionalitas.

Terminology terakhir ini merupakan nama untuk apa yang disebut dengan fanatisme. Dewasa ini, fanatisme, yang hampir selalu merupakan suatu bentuk ultrarasionalitas, tidak hanya gandeng dengan wilayah idiologis, melainkan juga agama. Kendati agama adalah domain aktivitas keselamatan, namun tetap rentan akan cetusan-cetusan ultra-rasional, sehingga melahirkan kelompok yang mengarah kepada suatu gaya atau model kekerasan.

Idiologi memang menyatukan, tatapi sekaligus menyempitkan. Reduktif Idiologi dewasa ini sudah dipandang mati, dan hanya menyisakan kenangan. Sementara itu yang dipandang tumbuh dan berkembang adalah penemuan kesejatian diri pada wilayah kutural. Dari idiologi ke kulturan, sebuah pencarian dan pencapaian yang tidak mudah dan bukan sekedar ala kadarnya, bahkan banyak bangsa yang gagal dalam pencarian kesejatiannya sehingga jatuh dapam perselisihan perang yang tak kunjung henti.

Dari Universalitas ke Partikularitas
Tema postmodern dominan menyentuh wilayah pergumulan tarsidisional akal budi manusia. Sudah sejak awal peradaban filsafat, perhatian terkuras pada pencarian kebenaran universal. Sejak Thales, kemudian Plato, sampai pada Kant, universalitas adalah kesejatian, esensi, kebenaran itu sendiri. Rumusan universalitas adalah rumusan absah, artinya apa yang particular tidak memiliki wibawa obyektivitas. Dengan demikian tidak pernah bisa menjadi rujukan, dan tidak meyakinkan.[4] Universalitas identik dengan rasionalitas. Universalitas sama dengan quidditas. Postmodern mengajukan kulturalitas. Sebuah pencarian makna martabat partikularitas. Postmodern tidak mau berlelah-lelah mencari quidditas. Pencarian esensi. Esensi tidak diperlukan, juga universalitas. Kesejatian tidak diasalkan dari esensi, melainkan representasi. Artinya, pencarian abstraktif rasional tentang hakikat universal realitas sama sekali tidak berguna. Kesejatian adalah kehadiran. Karena representasi atau kehadiran sangat khas, kesejatian tidak diletakkan pada universalitas, melainkan pada partikularitas. Misalnya, manusia sebagai makhluk rasional merupakan penemuan pengertian universal. Tetapi, pengedepanan rasionalitas manusia sebagai yang harus mengalirkan pengertian-pengertian yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja terasa tak relevan. Maka universalitas rasional manusia harus pula diartikulasikan bahwa manusia adalah makhluk cultural. Rasionalitas manusia, dengan demikian, khas, karena dibangun dalam budaya.

Postmodern, Pergeseran dari Uniformitas ke Unitas
Peradaban modern mengunggulkan peran akal budi secara amat mencolok. Emblem kemodernan adalah obyektivitas atas realitas. Maksudnya, suatu statement akan meyakinkan hanya apabila memiliki kebenaran obyektif. Apabila tidak obyektif, pernyataan tersebut salah. Apa artinya obyektivitas? Obyaktivitas mengandaikan suatu pertimbangan. Obyektivitas adalah ketunggalan jalan pikiran yang dipandang abash sebagai demikian, dan tidak pernah menunjuk kepada keragaman. Sebab dalam obyektivitas, keragaman adalah kerancuan dan tidak logis. Obyektivitas identik dengan kelogisan, tidak pernah berbagi, dan tidak bersifat plural, melainkan tunggal. Ketunggalan inilah yang mencetuskan peradaban modern. Peradaban modernitas adalah peradaban satu dimensi, yaitu dimensi obyektif, sehingga tidak sulit untuk ditengarai bahwa pemahaman ketunggalan ini dengan mudah tergelincir pada uniformitas, yang merupakan emblem sesungguhnya dari peradaban modernitas. Misalnya, idiologi. Peradaban idiologi, baik dalam teori maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari adalah peradaban satu dimensi, sebab hanya ada satu kebenaran yang harus dianut, diikuti, dan menjadi pedoman dan landasan. Keabsahan jalan pikiran hanya terdapat dalam cetusan idiologi, dan cetusan itu semata merupakan jalan pikiran sang pembuat idiologi. Menampilkan idiologi berarti menampilkan pula wujud kekuasaan yang kemudian memunculkan simplifikasi yang menindas kekayaan. Maksudnya, dengan idiologi, berarti hanya ada satu keabsahan yang diakui, sementara di luar itu semua cetusan, teori, gagasan, ide, poin, tidak pernah berlaku. Dengan idiologi berarti hanya ada satu bingkai yang merangkul wujud dari kekuasaan.

Postmodern memiliki pandangan yang lebih merujuk pada unitas. Postmodern lebih mengedepankan unitas daripasa uniformitas. Dalam unitas lebih diakui ke-organikan. Dengan pengakuan bahwa setiap bagian memiliki kemampuan dan kemandirian serta daya self-determination. Setiap bagian berkuasa atas dirinya sendiri. Dengan unitas, berarti pemakluman adanya perbedaan, keberagaman, bahkan emrupakan penampilan bagi setiap nilai detail yang dimiliki. Dengan demikian keragaman merupakan obyektivitas dalam dirinya sendiri, tanpa mereduksi obyektivitas yang disempitkan pada tatanan tertentu. Jadi tidak ada pelukisan tunggal. Semua memiliki makna dan juga keabsahan masing-masing.

Postmodern, dari unitas formal ke otentisitas manusiawi
Idiologi – menurut sebagian orang – bukan uniformitas, melainkan unitas formal. Idiologi tidak menggagas keseragaman melainkan kesatuan yang secara formal diperlukan dalam hidup bersama. Sementara di pihak lain unitas merupakan kehancuran dan kerancuan. Negara-negara penganut idiologi komunis, yang de facto sudah ketinggalan jaman, menampilkan diri sebagai negara yang tertib. Di lain pihak, tidak bisa disangkal bahwa unitas formal yang ditawarkan sama sekali tidak membuat manusia menampilkan otentisitasnya. [5]

Idiologi meninabobokan rasionalitas manusi dalam cara-cara yang koersif, memaksakan. Orang tidak boleh berpikir lain selain apa yang dipikirkan dan diprogramkan oleh negara, instansi yang berkuasa. Sekali lagi, idiologi menampilkan unitas formal yang menunjukkan kedangkalan dan pelenyapan keragaman.[6]

Hidup bersama dalam peradaman pasca idiologi semacam itu merarti hidup dalam peradaban di mana keragaman, pluralitas, dipuja, termasuk di dalamnya cara berpikir dan berpersepsi. Hidup dalam keseragaman itu mudah, tetapi sekaligus mendangkalkan. Sebaliknya, menggagas otentisitas manusiawi itu sangat rumit, tetapi sekaligus menampilkan kekayaan yang penuh makna.

Postmodern: dari Konstruksi ke Dekonstruksi
Dengan dekonstruksi sama sekali tidak memaksudkan penghancuran, pembubaran, peniadaan. Konstruksi memang berarti membangun. Dan dekonstrusi tidak serta merta mengatakan sebaliknya. Konstruksi memaksudkan pendirian rasinalitas. Ini kekhasan modernitas. Descartes adalah pionirnya. Ia mendirikan rasionalitas dalam cara yang sama sekali baru. Rasioalitas bukan semata perkara diskrepansi atau korespondensi ide akal budi manusia dengan obyek realnya. Rasionalitas adalah kesadaran. Dengan kesadaran maksudnya mengarah kepada subyektivitas. Kesadaran bahwa ‘aku’ adalah entitas yang berpikir. Terminologi Cartesian melukis dengan ‘res cogitans’. Manusia adalah res yang menyadari. Inilah konstruksi akal budi yang digarap dengan demikian intens dan mendalam. Kesadaran manusia adalah kesadaran rasional yang tidak pernah berhenti sebelum memiliki keyakinan mengenai keabsahan.

Terminology konstruksi mau mengatakan bahwa manusia memiliki segalanya untuk menggagas tentang dirinya, hidupnya, sesamanya, lingkungannya, Tuhannya, dan segala sesuatu yang andil dalam keseharian hidupnya. Produk dari konstruksi rasional ini dengan mudah dapat disebut. Yaitu, ilmu pengetahuan, teknologi, idiologi, agama, hokum, metafisika, pengertian transcendental dan yang sejenisnya. Ilmu pengetahuan mengajukan kepastian, keilmiahan, metodologi, keobyektifan. Teknologi memberikan iming-iming, persuasive, kemudahan, keenakan. Iidiologi menggagas kesatuan politis tata hidup bersama. Hukum dan keadilan. Agama menawarkan surge. Metafiska mengantar kepada kedalaman. Transcendental menembus keterbatasan dan kedangkalan. Demikianlah adagium-adagium promotif dari peradaban kemodernan. Sangat konstruktif. Dan memang tampak benar dalam kehidupan selama ini.

Tetapi dalam analisis postmodern, promosi-promosi di atas sekedar menjanjikan kepalsuan. Ilmu pengetahuan bukanlah menampilkan kepastian, melainkan power, kekuasaan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh Francis Bacon: Science is power! Dan kekuasaan berarti kepentingan. Tidak ada rasionalitas. Science yang mengagungkan keilmiahan lantas bukan suatu rincian investigasi rasional metodologis, melainkan membuat kepentingan-kepentingan yang mengemuka. Science tidak lagi scientific melainkan naratif. Bualan. Kisah. Dongeng, dan membuai, meninabobokan, memanjakan, mengelabui. Tidak ada protes terhadap kepentingan penguasa.[7] Agama adalah alat kekuasaan. Hukum mengabdi kekuasaan. Metafisika menjadi ajang pengembaraan rasio manusia yang nganggur. Produk-produk kemodernan pendek kata telah menjatuhkan peradaban ke tingkat yang sangat rendah. Orang bertengkar mengenai idiologi. Bangsa-bangsa terpecah dan saling menyisihkan karena kemajuan ilmu pengetahuan. Produk kemajuan justru membuat peradaban manusiawi mundur. Inilah paradox kemodernan. Postmodern melabrak kepentngan. Menggebrak narasi, grand narrative produk modernitas yang sarat dengan janji dan kepalsuan.

Bagaimana postmodern menggebraknya? Derrida mengajukan aktivitas rasional, yang disebut dengan dekonstruksi. Dekonstruksi tidak menawarkan penghancuran. Dengan dekonstruksi dimaksudkan pembacaan ulang seluruh realitas sebagai suatu “teks”. Dan karena realitas dipandang sebagai suatu teks, dekonstruksi berhadapan dengan suatu bahasa. Dengan bahasa, tidak dimaksudkan terutama dengan kata (word), melainkan sign (sismbol). Dekonstruksi akan memandang bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia symbol. Dari Ferdinand de Saussure, kita tahu bahwa apa yang disebut dengan sign terdiri atas struktur signified (realitas yang dimaknai) dan signifier (pemberi makna realitas tersebut).[8]

Pemandangan terhadap realitas biasanya seringkali merupakan produk signifier. Klaim modernitas atas keabsahan sesungguhnya langsung berhubungan dengan struktur signifier-nya, dan bukan menyentuh signified-nya. Artinya, ada struktur-struktur pemahaman rasional yang – dalam ilmu pengetahuan – terjadi penekanan-penekanan yang berlebihan dan kompromitas atas realitas. Misalnya, dalam idiologi, apa yang orang simak adalah paradigm-paradigma rasional simplistic atas prinsip kesatuan. Sebut saja, Persatuan Indonesia. Prinsip persatuan memaksudkan bahwa seluruh manusia Indonesia harus bersatu. Atau paling sedikit, tidak melawan prinsip itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Yang terjadi adalah simplifikasi prinsip persatuan. Muncul doktrin yang mengedepankan pembelaan persatuan di atas nilai-nilai moral keadilan dan kesejahteraan. Barang siapa yang melawan prinsip persatua sama dengan melawan moralitas bangsa. Yang memisahkan diri atau mencoba memisahkan diri adalah musuh bangsa, teroris, penjahat.[9]

Postmodern sekarang membuka mata akal budi manusia bahwa idiolog “Persatuan bangsa” telah digeser kepada adagium yang membela kepentingan, dan berbicara mengenai kepentingan berarti kepentingan penguasa. Aktivitas dekonstruktif itu menyentuh langsung perkara pemurnian rasional dan cara berpikir. Tidak reduktif. Tidak idiologis. Melainkan mencerahkan. Memanusiawikan.
Notes

[1] Postmodern menyoal Aristotles yang menjerumuskan kaum wanita sebagai bagian dari suatu system polis, tapi lumpuh dalam suatu penjara system kehidupan yang jauh dari dikusi periha virtus dan seterusnya. Demikian juga dengan Hegel yang menyepelekan wanita dengan mengatakan wanita sebagai makhluk tak rasional.
[2] Feuerbach pernah menggusur konsep doctrinal dengan berkata bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melaikan manusialah yang menciptakan Tuhan. Feuerbach mempondasikan pemahamannya tentang Tuhan bertolak dari paham materialism, atau materialism religious.
[3] Anna Amstrong dalam bukunya History of God menggagas kemungkinan menggelar pengadilan akan Tuhan. Siapa yang dapat memahami penderitaan oran Yahudi yang dikejar-kejar pada jaman Hitler, atau orang-orang Bosnia semasa perang saudara di negara eks Yugoslavia, atau konflik mengerikan dalam peradaban manusia yang terjadi pada suku Tutsi dan Hutu. Perang yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina, ata bahkan penderitaan korban pertengkaran etnis, agama, socio-politic yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia? Siapa yang bisa menjelaskan bahwa penderitaan hebat itu semata-mata berkaitan dengan kelalaian, keteledoran, kesembronoan, dan kesalahan mereka?
[4] Sokrates menampilkan pergumulan yang pada prinsipnya menentang partikularitas – seperti ditampilkan dalam argumentasi kaum sufis – identik dengan jalan pikiran reduktif, negatf, skeptif. Thomas Aquinas menyebut esensi (universalitas) dengan quidditas (quid = apa-nya). Maka pertanyaan pertama filosofis seperti yang diajukan Sokrates ialah apakah. Pertanyaan dengan memakai terminology quid ini memaksudkan pencarian quidditas.
[5] Negara-negara komunis, macam Uni Soviet, membuktikan kebenaran itu, dengan ketertinggalan dan kemunduran seabad untuk menggalang kemajuan, semata-mata karena dalam rejim komunis, tidak ada ruang bagi penggalian otentisitas manusiawi.
[6] Indonesia pernah mencetuskan bhineka tunggal eka, sebuah pemeo-an yang diderivasi dari suatu pemikiran fasis (fasisme (fasis berasal dari kata faso yang berarti ‘sapu’) – dalam arti sesungguhnya, mengatakan sesuatu yang sangat bagus, yaitu ide tentang kesatuan). Tetapi sayangnya, bhineka tunggal eka, direalisasikan hampir sepanjang waktu dalam penampilan pakaian atau model-model rumah – Taman Mini Indonesia Indah – yang semuanya menampilkan dan hendak mengatakan keseragaman, bukan keberagaman. Dan seseragaman macam itu bukan target, bukan tujuan. Bukan pula kepentingan.
[7] Simak apa yang terjadi dengan idiologi-idiologi macam nasionalisme totalitarian, komunisme, individualism, chauvinism, fasisme.
[8] Ilmu tentang sign atau tanda disebut dengan semiotic atau semiotika.
[9] Ingat kasus Xanana Gusmao. Pemerintah Soeharto bahkan dengan bangga menganugerahkan bintang tanda jasa yang sangat tinggi untuk militer yang telah berhasil menangkap Xanana, Sang teroris, sparatis yang subversive. Dan masih tergiang mass media melukiskan penangkapan Xanana sebagai puncak keberhasilan tiada tara, sekaligus dengan segala uraian kotor tentang sosok Xanana. Akan tetapi sekarang semua orang tahu siapa yang sebenarnya jahat dan kotor dalam sejarah peristiwa itu, dan siapa pejuang kemanusiaan yang sesungguhnya. Problemnya mungkin tidak sekedar bahwa itulah jaman Orde Baru dengan kekhasannya yang tidak dimiliki oleh jaman lain. Melainkan wacana pada waktu itu adalah wacana idiologis, yang berupa simplifikasi atas prinsip rasional. Hal serupa juga terjadi pada sosok-sosok pejuang kemanusiaan. Sebut saja Usku Bello, Yasser Arafat, bahkan pemerintah Inggris menyesali tindakannya, karena telah pernah menolak kehadiran Nelson Mandela – kala itu menjadi ‘buron’, dan teroris (untuk rejim saat itu) – di wilayah Inggris.

Selasa, 12 Mei 2009

Kenakalan Remaja Dimulai dari Keluarga

Kenakalan Remaja Dimulai dari Keluarga

Jaman sekarang, sering kali kita mendengar banyak remaja-remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja, seperti perkelahian, narkoba, sex bebas sampai masalah paling parah, seperti tindakan kriminal. Pernahkah kita menyadari bahwa kenakalan yang ditimbulkan oleh para remaja, selain adalah tanggung jawab dari remaja itu sendiri, juga merupakan tanggung jawab orang-orang dan lingkungan di sekitar mereka?

Banyak faktor yang menjadi pencetus dari kenakalan remaja. Salah satu yang akan dibahas ini adalah kenakalan remaja yang berkaitan dengan keluarga. Keluarga merupakan sosialisasi manusia yang terjadi pertama kali sejak lahir hingga perkembangannya menjadi dewasa. Itulah sebabnya sebelum berlanjut kepada kenakalan remaja yang disebabkan oleh faktor yang lebih banyak lagi maka akan lebih baik kita mulai memperhatikan dari permasalahan yang paling mendasar yaitu keluarga.

Keluarga dapat dibagi menjadi bermacam-macam, seperti keluarga inti, keluarga besar, dan lain-lain. Tetapi dalam bayangan kita, lebih sering kita mendeskripsikan keluarga dengan gambaran keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan saudara kandung. Secara idealnya, keluarga adalah ayah dan ibu yang bersatu dan bahu membahu dalam mendidik dan membimbing anaknya dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Ayah dan ibu adalah panutan anak sejak kecil hingga remaja dan hal tersebut akan berlangsung terus menerus sampai mereka memiliki anak lagi dan berlanjut terus seperti ini.Peran keluarga sangat penting bagi sosialisasi anak dimasa perkembangannya.

Berikut adalah peran keluarga :

  1. Keluarga merupakan kelompok terkecil dimana anggotanya berinteraksi secara tetap.
  2. Terdapat hubungan emosional yang kuat antara orangtua dan anak.
  3. Hubungan sosial yang terjadi relatif tetap.

Berdasarkan teori perkembangan fisik, remaja dibagi menjadi remaja awal dan remaja akhir.Remaja awal dimulai dari usia 13-17 tahun sedangkan remaja akhir dimulai dari usia18-19 tahun. Yang disebut sebagai kenakalan remaja adalah kenakalan yangterjadi pada kategori umur remaja, dimana remaja melanggar norma-norma baik, terutama norma hukum dan norma sosial.

Gejala-gejala yang dapat dilihat pada anak yang mengalami kenakalan remaja adalah :

  1. Anak tidak disukai teman-temannyasehingga bersikap menyendiri.
  2. Anak sering menghindar dari tanggungjawab mereka di rumah dan di sekolah.
  3. Anak sering mengeluh kalau mereka memiliki permasalahan yang mereka sendiri tidak bisa selesaikan.
  4. Anak mengalami phobia atau gelisah yang berbeda dengan orang-orang normal.
  5. Anak jadi suka berbohong.
  6. Anak suka menyakiti teman-temannya.
  7. Anak tidak sanggup memusatkan perhatian.


Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja bisa disebabkan dari berbagai hal :

1. Keluarga yang broken home

Keluarga yang broken home bisa digambarkan seperti orangtua yang berpisah, seperti bercerai atau terjadi perang dingindalam keluarga. Pada masa remaja terutama remaja awal merupakan fase dimana teman sebaya sangat penting baginya. Pada periode ini juga sering terbentuk kelompokatau lebih dikenal dengan sebutan gang. Idealisme mereka sangat kuat dan identitas diri mulai terbentuk dengan emosi yanglabil. Dalam fase ini, orangtua sangat berperan dalam mengawasi anak-anaknyadalam bergaul dan menuntun mereka dalam menjalani hidup supaya tidak salah bergaul dengan teman-teman yang dapat menjerumuskan mereka. Keluarga bagai kanvital mereka sebagai pedoman dalam hidup. Bila mereka kehilangan pedoman hidup mereka ini maka mereka akan susah untuk melewati masa kritis dalam hidupmereka. Masa kritis tersebut diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, dan cita-cita serta keinginan yang tinggi tetapi sulit untuk diwujudkan sehingga menimbulkan stress dan frustasi. Masalah keluarga yang broken home ini menjadi akar dari permasalahan anak-anak. Keluarga merupakan dunia keakraban dan di dalamnya terdapat tali batin yangmerupakan vital dalam hidup.

2. Pendidikan yang salah

Sikap memanjakan anak-anak merupakan cinta kasih orangtua yang berlebihan bagi anak-anak. Sering kali halitu disebabkan anak tersebut merupakan anak tunggal atau karena kurangnya perhatian yang didapat oleh orangtuanya dulu sehingga dipuaskan kepada anak-anak mereka. Juga dapat disebabkan oleh rasa bersalah orangtua kepada anak yang disebabkan orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan atau over active ataupun penyebab lainnya. Perlu kita ingat kembali bahwa keluarga adalah kehidupan dimana seorang anak pertama kali berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan. Oleh sebab itu, pendidikan dalam keluarga sangatlah penting untuk menjadi dasar dan arah anak mencapai kedewasaan mereka yang menuntut tanggung jawab. Anak adalah generasi muda yang nantinya akan meneruskan generasi tua sehingga pendidikan sangatlah perlu untuk diperhatikan dan ditekankan.

Pendidikan yang baik tentunya tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan pendidikan yang salah? Tentunya pendidikan yang salah akan menjadi masalah nantinya. Terdapat 2 cara mendidikyaitu: cara otoriter dan cara demokratis. Cara otoriter adalah cara mendidik yang lebih ke arah memimpin sedangkan cara demokratis adalah cara mendidik yang lebih ke arah memberikan kebebasan. Tentu saja kedua cara tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan. Seorang anak juga perlu diberi pendidikan agama untuk mengarahkan mereka menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.

Pengendalian untuk kenakalan remaja dapat dilakukan dengan bersikap preventif dan bersifatrepresif. Anak-anak perlu ditanamkan sikap disiplin oleh orangtua, diberikan kasih sayang dan rasa keamanan bagi anak, serta orangtua dapat menjadi sahabat bagi anak. Sebaiknya orangtua tidak bersikap terlalu over protective. Akan tetapi anak perlu diberikan kebebasan untuk memilih apa yang dia suka dan tidakdia suka karena dengan berjalannya waktu, anak juga dituntut untuk bersikap dewasa dan bertanggung jawab terhadap hidup dan pilihan mereka. Oleh sebab itu, orangtua perlu membiasakan diri untuk memberikan pengertian terhadap dirimereka dan percaya kepada anak-anaknya. Tentu saja, orangtua juga tidak bolehmemberikan kebebasan yang berlebihan, tetapi tetap menjadi pengawas dan gurubagi mereka untuk mengarahkan mereka ke jalan yang benar apabila arah mereka terlihat melenceng/tak sesuai.

Orangtua juga dapat terlibat dalam organisasi sosial yang bertujuan menanggulangi kenakalan remaja. Dengan banyak ikut serta dan mengenal kehidupan remaja, orangtua dapat menjadi sahabat yang baik bagi anak-anaknya serta dapat menjadi tempat berkeluh kesah dan menjadi sesepuh bagi sang anak. Dengan menanamkan arti kepercayaan, hubungan cinta dan rasa tenteram dalam keluarga antara anak dan orangtua akan tercipta, serta akhirnya bisa turut mengurangi kenakalan remaja.

Ingatlah selalu bahwa generasi muda adalah penerus bangsa dan negara. Tentu saja biladisuruh memilih, semua ingin menjadi anak yang memiliki nilai yang tinggi bagidiri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara. Bagi generasi muda, apakah kitamau menjadi anak yang dihargai oleh orang lain atau anak yang dinilai nakal sehingga sering dimarahi? INGAT!! Pilihan hidup ada di tangan kita sendiri dan jalan hidup akan dijalankan oleh kita sendiri juga. Oleh sebab itu, janganlah sampai salah langkah.


Daftar Pustaka :

Selamat Pagi

Hari ini, dimulai dengan semangat baru yang disertai keinginan untuk mendapatkan yang terbaik, hari yang baik, pekerjaan lancar, dan mengharapkan segala aktivitas berjalai baik seperti yang diinginkan. Tujuan harus diraih, oleh sebab itu harus bisa memutuskan apa yang menjadi tujuan dari segala kegiatan hari ini.
Ow, bagaimana dengan kemarin...? Apa yang telah terjadi? Apakah ada hal baik yang telah dilakukan? Apakah ada hal yang harus diperbaiki hari ini atau masih adakah pekerjaan yang meminta sedikit waktu untuk diselesaikan hari ini? Ya, semua harus selalu bertautan, berhubungan, tapi bukan suatu ketergantungan. Teruskan apa yang harus diteruskan. Lakukan apa yang harus dilakukan, supaya tidak ada lagi beban pekerjaan yang menumpuk di kemudian hari dan tidak mampu diselesaikan. Atau, jangan sampai semuanya menjadi tumpang tindih dan menjadi kacalu balau, sebab hanya akan menghambat pekerjaan yang menjadi prioritas hari ini. Lakukanlah dengan baik dan bertanggung jawab..... Inilah keinginan yang harus dibayar hari ini. Mengerjakan segalanya dengan kesadaran dan tanggung jawab dengan mengalami dan merasakan bahwa ini adalah bagian dari proses pembentukan diri yang terus menerus berjalan.

Senin, 11 Mei 2009

Welcome

Welcome to my page....Ini merupakan Blog pertama saya. dan saya menamakannya dengan SpareAude, dengan maksud ini adalah wadah dan wahana kita untuk berkarya lewat tulisan dan pemikiran-pemikiran yang kita hasilkan dengan penuh tanggung jawab dan berorientasi pada rasionalitas dengan mengutamakan hasil dan ide serta gagasan murni dari diri sendiri. Keinginan untuk memiliki blog sendiri sudah lama terlintas, namun baru sekaran bisa terwujud. Dalam blog ini, saya akan berusaha menampilkan tulisan-tulisan, cerita, puisi, dan juga kegiatan-kegiatan yang terjagi dalam keseharian hidup dan juga yang terjadi di sekitar ku, atau jenis karya lainnya yang dapat saya bagikan kepada Anda semua yang merasa tertarik dan ingin membacanya. Blog ini bersifat bebas, maka saya mengundang Anda semua untuk ikut dalam pengembangan blog ini. Silahkan memberi komentar, kritik atau pun saran yang dapat membantu saya untuk mengembangkan blog ini dengan baik, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kita semua, lewat ide, gagasan-gagasan yang berguna dan tepat sasaran. Kreativitas, daya pikir, dan penerapannya, sangat diperlukan, oleh sebab itu, dalam blog ini, saya berusaha memberikan yang terbaik, yang berguna untuk kita semua....Terima kasih.